Blogger Template by Blogcrowds

Welcome to "Potterheads INDO!"

Get Gifs at CodemySpace.com

Aturan Berkunjung di "Potterheads INDO"

Untuk kalian para Wizard / Witch yang mau lanjut baca di blog ini :

1. ATURAN TERPENTING : Seorang Penyihir.
2. Dilarang menyebarkan hoax dan saling mengejek.
3. Dilarang menyebarkan virus pertengkaran karena perbedaan pandang pada salah satu karakter.
4. Jika kalian punya kritik / saran yang akan membuat blog ini lebih bagus lagi, kirim ke potterheadsindo@gmail.com. Semua email akan di pertimbangkan :)
5. Berkomentar dengan bahasa yang sopan, baik dan sesuai dengan topik.

Nah, kalian harus mematuhi peraturan ini kalau tidak mau dicap Squib / Muggle! hahaha... enjoy it...!

Fan Fiction kiriman HarryPotterLovers

Ini ada fan fiction kiriman dari followers @HogwartsMember. Silahkan dibaca... Author gak bisangejelasin apa-apa soalnya bukan Author yang bikin... (:p)

Disclaimer: I do not own anything, J.K. Rowling does.
Warnings: OOC parah, cliché, kacau, alur kecepetan, post-Hogwarts.
Pairing: Draco Malfoy – Hermione Granger
Genre: Romance & Angst
Rated: T

Realization

Awal Juni, awal musim panas—salah satu musim favoritku. Well, sebenarnya ini bukan berita baru mengingat hampir semua orang memang menyukai musim panas—dan karena alasan yang sangat umum, kurasa. Kau bisa menikmati sinar matahari tanpa batas, memandang bunga-bunga yang bermekaran di sekelilingmu, atau bahkan berbaring di rerumputan di luar rumah pada malam hari. Tak melakukan apa pun, hanya berbaring diam di sana dan menatap langit malam—membebaskan imajinasimu yang paling liar sekali pun. Dan aku tidak bisa tidak tersenyum ketika membayangkan diriku sendiri melakukan semua hal itu. Aku menghela napas panjang, mungkin suatu hari nanti aku bisa melakukan hal itu. Bersamanya.
Aku menolehkan kepalaku ke sisi tempat tidur di sampingku, dan seperti yang sudah kuduga, seperti yang selalu terjadi di setiap malam ketika aku terjaga, aku mendapati sisi itu kosong. Hanya ada tumpukan bantal yang agak berantakan, menandakan ada seseorang yang pernah berbaring di atasnya selama beberapa saat. Dia pasti segera menyelinap keluar begitu aku mulai terlelap.
Aku masih berbaring diam tak bergerak selama beberapa menit berikutnya, hanya memandangi langit-langit kamar yang temaram dan mendengarkan suara detik jarum jam yang begitu jelas terdengar di keheningan kamar ini. Beberapa menit lagi berlalu, dan aku mulai merasa bosan. Mungkin tak ada salahnya keluar kamar untuk sekadar mencari suasana lain.
“Kau terbangun lagi?” tanya sebuah suara dari arah ruang duduk, mengejutkanku.
Well, aku tak pernah tahu bagaimana caranya dia bisa mengetahui keberadaanku seperti itu. Dia bahkan tak perlu menolehkan kepalanya dan melihat ke arahku untuk mengetahui bahwa aku berada di ruangan yang sama dengannya. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku bahwa hal itu disebabkan karena dia memiliki ikatan batin denganku. Dan aku benar-benar berharap seperti itulah kenyataannya.
Aku tersenyum tipis sebelum berjalan menghampirinya. Dia sedang duduk menghadap perapian, menyandarkan kepalanya di sofa, dan memejamkan matanya rapat-rapat. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya aku melihatnya dalam posisi seperti itu. Aku bahkan berani bertaruh dengan apa pun dan mengatakan bahwa dia selalu menyendiri di ruangan ini hampir setiap malam. Entah apa yang sedang dipikirkannya, aku tak pernah tahu.
Dia membuka matanya, memandangku dengan mata kelabunya yang tajam. Dan seperti biasanya, aku tak pernah mampu untuk membalas pandangannya itu. Aku duduk di sampingnya sambil menundukkan kepalaku, merasakan pandangan matanya yang mengikuti setiap gerakanku.
“Seharusnya kau tidak terbangun,” katanya tenang.
“Kau tidak ada di sampingku,” jawabku lirih.
Dia menghela napas panjang. “Aku hanya membutuhkan sedikit udara segar.”
Aku tidak menjawab. Dan dia berkata lagi, “Kembalilah tidur, aku akan menyusul sebentar lagi.”
“Kurasa sebaiknya aku menemanimu di sini saja,” kataku dengan nada final.
Dia kembali memandangku, dan kali ini seulas senyum tipis menghiasi wajahnya. Senyum yang kuyakini hanya untukku. Well, dia selalu menyeringai, bukan tersenyum. Jadi aku bisa menganggap bahwa senyumnya itu hanya diberikan untukku.
“Kau tidak perlu melakukan itu,” katanya. “Aku memang sedang ingin menyendiri.”
Aku membalas senyumannya. “Aku berjanji tidak akan mengganggu.”
Dia hanya mengangkat bahunya dan tidak mengatakan apa-apa. Aku menghela napas panjang dan meletakkan kepalaku di bahunya. Dan seperti biasanya, aku bisa merasakan kalau dia sedikit berjengit sebelum dia bisa menguasai dirinya dan mulai membelai rambutku.
“Draco?” panggilku beberapa saat kemudian.
“Hmm?” jawabnya.
“Aku tak pernah mengetahui alasan kenapa kau tak mau lagi tinggal di rumahmu yang dulu.”
“Rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan.”
“Maksudku bu—”
“Aku mengerti maksudmu, dan aku mengatakan yang sebenarnya,” katanya menyela kalimatku.
Aku mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa. Dia menghela napas panjang dan mulai berkata dengan nada suara yang entah kenapa selalu membuatku berpikir bahwa dia sedang berbicara dengan orang lain, dan bukannya denganku. Lembut.
Harus kukatakan dengan jujur bahwa sebenarnya aku tak pernah tahu kalau dia bisa berkata dengan nada selain nada mengejek dan mencemooh. Dan senyumnya itu—terkadang aku memiliki pikiran gila bahwa itu bukan untukku, aku masih belum bisa percaya kalau dia mampu tersenyum. Mungkin hal-hal kecil yang tak pernah kuketahui seperti itulah yang membuatku mencintainya. Ya, dengan bangga aku mengatakan bahwa aku mencintainya. Dan dia tahu itu.
“Aku tahu kau tidak sedang membicarakan Malfoy Manor,” katanya dengan pandangan menerawang. “Dan menurutku, rumah itu terlalu kecil jika digunakan sebagai tempat tinggal untukmu.”
“Tapi aku menyukai pemandangan di sekelilingnya, Draco. Lagi pula, kita bisa mengubahnya setiap saat. Masih ada banyak lahan di halaman belakang yang bisa kita gunakan untuk memperluas rumah itu semau kita.”
Dia tidak langsung menjawab kata-kataku tadi, tetapi aku bisa merasakan kalau wajahnya menegang. “Aku tak akan pernah mengubah rumah itu sedikit pun. Dan kita tidak akan pernah tinggal di sana,” katanya serius.
Aku menggigit bibir bawahku. Tak ada gunanya membantah kata-katanya. Dia orang paling keras kepala yang pernah kukenal.
“Sebaiknya kita kembali tidur sekarang, besok pagi aku harus bangun lebih awal,” katanya sambil beranjak bangkit.
“Draco?” panggilku sebelum dia mulai melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan ini.
“Ya?” jawabnya sambil membalikkan tubuhnya untuk memandangku.
“I love you,” kataku.
“I know,” jawabnya singkat sebelum melangkahkan kakinya dan meninggalkanku sendiri di ruang duduk.

-o0o-

Tak ada hal apa pun yang bisa kulakukan saat ini. Dan sungguh, aku benar-benar merasa bosan. Mungkin seharusnya tadi aku menerima undangan Narcissa untuk menemaninya pergi berbelanja. Dan sekarang aku menyesal sudah menolak undangannya tadi.
“Tinky,” panggilku pada salah satu peri-rumah milik kami.
Sedetik kemudian, muncullah seorang peri-rumah yang muncul dengan suara lecutan keras di hadapanku. Dia memakai pakaian putih bersih yang kuingat pernah diberikan oleh Draco beberapa waktu yang lalu. Wajahnya berseri-seri ketika dia menyapaku.
“Anda memanggil Tinky, Mistress?” tanya peri-rumah itu sambil membungkukkan tubuhnya.
“Kau tahu jam berapa Draco pulang?” tanyaku.
“Tidak, Mistress. Master Draco tidak mengatakan apa-apa kepada Tinky ketika Master pergi tadi pagi. Master hanya meminta Tinky untuk tidak membangunkan Mistress yang masih tidur,” jawab peri-rumah itu sambil menggelengkan kepalanya.
Aku mengerutkan dahiku. Seharusnya aku tak perlu heran lagi. Draco memang selalu pergi ketika aku masih tertidur, dan dia tak pernah membangunkanku untuk sekadar mengucapkan ‘bye’. Tak pernah sekali pun. Dan aku selalu berpikir bahwa itu karena dia tidak ingin mengganggu tidurku.
Aku tersenyum. “Baik, Tinky, kembalilah ke dapur.”
“Ada yang ingin Mistress tanyakan lagi pada Tinky?”
“Tidak,” jawabku singkat.
Peri-rumah itu mengangguk, membungkukkan tubuhnya sekali lagi, dan menghilang dengan suara lecutan keras seperti saat dia muncul tadi. Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran sofa yang kududuki sejak tadi, berusaha mencari sesuatu untuk mengusir kebosananku.
Percuma saja. Aku semakin merasa bosan. Aku menarik napas panjang, mungkin sebuah buku bacaan bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Aku bangkit, menuju ruang kerja Draco. Ada sebuah lemari buku besar tempat dia meletakkan buku-bukunya di sana. Ya, Draco suka membaca. Mungkin itulah sebabnya dia memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya yang dulu. Aku mengetahui hal ini karena dia sering menghabiskan waktunya di sana, dan aku sering bertanya-tanya kenapa dia tidak mau memindahkan perpustakaan pribadinya itu ke rumah ini. Maksudku, akan jauh lebih praktis dan lebih efisien kalau dia bisa membaca dengan nyaman tanpa harus pergi ke ujung lain kota ini, kan?
Aku menggelengkan kepalaku. Tanpa sadar aku sudah berada di sudut ruang kerja Draco, di depan lemari buku besar yang kumaksudkan tadi. Aku mengulurkan tanganku untuk membuka pintu lemari itu, dan mulai mencari buku yang kuanggap menarik.
Literatur dan karya sastra. Dua jenis buku yang mendominasi lemari ini.
Aku mengerutkan dahiku. Aku tidak pernah tahu kalau Draco menyukai buku-buku seperti itu. Pandanganku tertuju pada sebuah buku kecil bersampul kulit warna hitam yang berada di sudut lemari. Buku itu berbeda dengan buku-buku lainnya, terlihat lebih kecil dan lebih tipis. Seperti jurnal. Atau mungkin itu memang sebuah jurnal?
Aku mengambil dan memperhatikan sampul kulitnya selama beberapa saat, mempertimbangkan untuk mengembalikannya lagi ke tempatnya semula. Kalau buku ini memang sebuah jurnal, aku tidak memiliki hak sama sekali untuk membukanya, apa lagi membaca isinya. Tetapi rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya. Mungkin tidak apa-apa kalau aku membacanya sedikit, pikirku.
Aku menarik napas panjang sebelum membuka halaman pertama buku itu. Kosong.
Aku membuka halaman berikutnya, dan hanya lembaran putih bersih yang kulihat di sana. Begitu seterusnya, dan masih saja tak ada kata atau kalimat yang kutemukan, bahkan satu huruf pun tak ada sama sekali. Hingga halaman terakhir.
Satu halaman yang hanya berisi beberapa kalimat, beberapa baris, dan bahkan tidak memenuhi setengah halaman kertas putih itu. Tetapi cukup untuk membuatku mengerti. Sangat cukup untuk membuatku sadar. Benar-benar cukup untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di benakku selama ini. Dan lebih dari cukup untuk membuat cairan bening yang hampir tak pernah keluar dari kelopak mataku kini mengalir deras membasahi pipiku.
Sekarang aku mengerti. Aku, Astoria Greengrass-Malfoy, seorang wanita terpandang, seorang bangsawan darah-murni—baru saja menyadari bahwa aku tak akan pernah memiliki hati seorang Draco Malfoy. Karena betapa pun kerasnya aku berusaha untuk menjadi yang terbaik baginya, aku sadar sepenuhnya bahwa aku tak akan pernah bisa menggantikan posisi seorang Hermione Granger.

- END -

Kiriman : @Rheatitan

NB : kasih komentar kamu tentang pendapatmu mengenai fanfic ini yaa... oya, jangan lupa follow @HogwartsMember!

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Dumbledore Army (Followers)

Seberapa baguskah Blog ini?

Siapa karakter perempuan favoritmu di Harry Potter?